PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG - UNDANG NO. 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945


I.              LATAR BELAKANG

Meskipun UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah disahkan sejak Tahun 2004, akan tetapi Undang-undang ini tak juga bisa diterapkan. Peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan  yang dimandatkan Undang-undang ini tidak kunjung terbit.

Kendala lainnya adalah belum adanya Badan Pelaksana SJSN. Ketentuan Tentang badan pelaksana SJSN akan ditetapkan melalui undang-undang tersendiri. Undang-undang Badan Pelaksana Jaminan Sosial tersebut hingga saat ini sedang dalam pembahasan di DPR yang diberi nama Rancangan Undang-undang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (RUU BPJS).

Secara substansial Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional sendiri masih mensisakan masalah. Banyak pihak masih menolak undang-undang ini dikarenakan tidak mencerminkan aspirasi masyarakat yang menghendaki sistem jaminan sosial yang berpihak pada rakyat khususnya kaum miskin yang merupakan kelompok mayoritas masyarakat Indonesia. Kelompok masyarakat miskin tersebut adalah para pengangguran, pekerja sektor informal, pekerja formal yang upahnya rendah, buruh tani/petani tak bertanah dan petani kecil. Mestinya sistem jaminan sosial harus mengedepankan kepentingan kelompok tersebut.

Data depertemen tenaga kerja menyebutkan jumlah tenaga kerja dengan status buruh/PNS adalah sebanyak 28,9 juta jiwa dari 104,48 juta jiwa penduduk yang bekerja. Data tersebut membuktikan bahwa sebagian besar tenaga kerja bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang rendah dan sangat rentan mengalami krisis.
Selain itu Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional ini hanya mencakup kelompok masyarakat yang mampu membayar premi dan iur tanggung. Dengan demikian maka hanya sekelompok kecil masyarakat yang mampu saja yang dapat memperoleh jaminan social, sementara sebagian besar lainnya yang tidak mampu tidak berhak mendapat  jaminan sosial yang layak.

Padahal jumlah masyarakat miskin masih sangat besar. Data statistik menyebutkan jumlah rakyat miskin di Indonesia mencapai 100 juta lebih. Mereka adalah individu dengan pendapatan dibawah US $ 2 perkapita / hari. Kelompok masyarakat ini dapat dipastikan tidak akan mampu membayar premi dan iur tanggung secara terus menerus.

Masalah lainnya yang tidak kalah penting adalah paradigma dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Semestinya sistem jaminan sosial nasional merupakan tanggung jawab negara. Negara wajib memberikan jaminan sosial kepada masyarakatnya, khususnya ditengah kondisi perekonomian menghadapi krisis seperti sekarang ini.

Pentingnya Peran Negara
Saat ini muncul perdebatan yang tajam Tentang siapakah yang harus menyelenggarakan Sistim Jaminan Sosial Nasional. Perdebatan ini tidak hanya menyangkut perdebatan tehnis akan tetapi jauh lebih dalam pada masalah perdebatan idiologis Tentang paradigma ekonomi politik  yang dianut oleh suatu negara.

Meskipun penyelenggaraan jaminan sosial tersebut secara tegas telah diatur dalam UUD 1945 Pasal Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”, namun banyak pihak masih berusaha menafsirkan berdasarkan kepentingan masing-masing.    

Dalam pandangan ekonomi politik neoliberal, negara tidak boleh ikut campur dalam urusan-urusan ekonomi, atau suatu urusan yang secara ekonomi menjanjikan profit bagi sektor swasta. Dalam padangan neoliberal sistem jaminan sosial adalah produk jasa yang dapat diperdagangkan atau diperjualbelikan. Produk jasa semacam ini menjanjikan keuntungan yang besar bagi sektor swasta.

Pandangan yang lain yang antitesa terhadap gagasan neoliberal diatas menganggap bahwa jaminan sosial adalah kewajiban negara. Sektor ini dianggap merupakan sektor strategis karena menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama kelompok masyarakat miskin. Sehingga negara bertanggung jawab penuh dalam menyelenggarakan jaminan sosial.

Itulah mengapa banyak kelompok masyarakat khususnya masyarakat miskin di Indonesia menolak sistem jaminan social nasional seperti yang diatur dalam UU 40 Tahun 2004. Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional ini dianggap merupakan suatu skenario menyerahkan suatu urusan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara kepada perusahaan asuransi. Sehingga Undang-undang ini secara jelas dan substansial merupakan sistem asuransi sosial yang beroperasi lebih mirip dengan perusahaan asuransi.

Meskipun perusahaan asuransi yang rencananya akan ditunjuk negara sekalipun adalah BUMN namun tidak ada jaminan dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Hal ini dikarenakan jika dilihat dari orientasi ekonominya, BUMN-BUMN yang dimaksud adalah perusahaan yang berorientasi pada profit yang tidak ubahnya dengan perusahaan swasta lainnya.

Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional ini akan menjadi pintu masuk bagi perusahaan asuransi besar dari luar negeri. Dalam sistem ekonomi politik yang sangat liberal seperti Indonesia maka sangat memungkinkan perusahaan asuransi milik negara dan asuransi nasional akan berpindah tangan kepada pihak asing.

Peluang dominasi asing dikuatkan dengan lahirnya UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM), yang kemudian diturunkan dalam peraturan Presiden no 77 Tahun 2007 Tentang daftar negatif investasi, yang isinya telah membuka sektor-sektor strategis bagi penanaman modal asing. Padahal penguasaan modal asing dalam sektor asuransi saat ini saja diperkirakan mencapai 95 %. Kondisi semacam ini dapat menimbulkan masalah tersendiri terkait dengan sistem asuransi sosial yang hendak dikembangkan. Akibatnya penyelenggaraan asuransi sosial bagi rakyat Indonesia akan jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan asing.

Belakangan ini, nasib masyarakat Indonesia semakin terancam dengan disepakatinya berbagai agenda free trade agreement (FTA) atau perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN China, India, Korea dan potensial FTA dengan Uni Eropa serta AS, membuka peluang peluang ekspansi bisnis jasa termasuk asuransi dari negara-negara maju ke Indonesia. Menghadapi intensifnya bisnis asuransi tersebut sesungguhnya mengharuskan negara memberikan tanggung jawab minimum terhadap rakyat. 

Pada sisi lain, kuatnya tekanan globalisasi dan persaingan bebas menyebabkan rakyat semakin rentan terhadap situasi krisis. Untuk itu diperlukan mekanisme hukum yang mampu memberikan perlindungan sosial secara maksimum dalam rangka menjamin keselamatan dan keberlangsungan hidup rakyat. Urusan semacam ini tentu saja tidak dapat dilimpahkan kepada pihak swasta, melainkan harus ditangani oleh lembaga negara yang kuat dan memberikan jaminan sosial yang berkelanjutan dan berkepastian serta tidak boleh berorientasi mencari keuntungan.




Belajar dari Krisis Keuangan Global
Krisis keuangan global yang melanda AS dan kemudian menular ke Eropa, Jepang, dan bahkan negara-negara berkembang, sebagian besar merupakan akibat dari ulah perusahaan-perusahaan asuransi.

Perusahaan American International Group (AIG) yang merupakan perusahaan asuransi terbesar di dunia salah satu diantara penyebab krisis. Perusahaan ini bahkan memohon untuk disuntikkan dana darurat sebesar 40 bilyun dolar dari pemerintah AS untuk menghindari kebangkrutan total. Selain itu beberapa perusahaan asuransi lainnya seperti Washington Mutual Fund, dan Wachovia, juga terjungkal. Jutaan orang yang membayar asuransi dirugikan oleh berbagai perusahaan tersebut.

Pengalaman hancurnya perusahaan-perusahaan asuransi AS merupakan fakta bahwa meyerahkan urusan jaminan sosial dan asuransi sosial kepada sektor swasta sama sekali bukan hal yang tidak beresiko. Negara kembali harus menutupi utang-utang perusahaan asuransi dalam jumlah yang sangat besar. Moral Hazard yang didukung oleh sistem yang liberal menyebabkan perusahaan-perusahaan asuransi menginvestasikan dana-dana masyarakat dalam kegiatan spekulasi yang sangat beresiko.

Fakta tersebut juga membuktikan bahwa pada akhirnya Negara yang harus bertanggung jawab untuk mengatasi krisis semacam itu. Padahal sebelumnya perusahaan-perusahaan swasta telah mengeruk keuntungan yang sangat besar dari bisnis asuransi.

Berbeda dengan logika yang dikembangkan selama ini bahwa menyerahkan urusan jaminan sosial dan asuransi sosial kepada sektor swasta adalah satu strategi untuk mengurangi beban negara. Mungkin saja kewajiban negara dapat berkurang dalam jangka pendek akan tetapi dalam jangka panjang justru menimbulkan ledakan sosial yang besar.

Padahal akibat dari krisis keuangan global tersebut tidak hanya pada perusahaan asuransi sendiri, akan tetapi juga keseluruh bidang seperti pada investasi, perdagangan dan sektor keuangan lain yang menyebabkan krisis ekonomi secara keseluruhan. Bahkan efek krisis global menular ke negara-negara berkembang dan miskin. Saat ini bahkan negara-negara seperti Indonesia harus ikut andil dalam membiayai krisis.

Mengacu pada UUD 1945
Jaminan sosial utamanya adalah sebuah bidang dari kesejahteraan sosial yang memperhatikan perlindungan sosial, atau perlindungan terhadap kondisi yang diketahui sosial, termasuk kemiskinan, usia lanjut, kecacatan, pengangguran, keluarga dan anak-anak, dan lain-lain. (Sumber Wikipedia Indonesia)

Menurut preambule UUD 1945 negara republik Indonesia berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Cita-cita konstitusi tersebut mengisyaratkan bahwa sistem jaminan sosial merupakan tanggung jawab negara untuk melaksanakannya.

Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Selain itu kewajiban negara juga diatur dalam Perubahan UUD 45 Tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”. Menurut Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional  ini sendiri landasan hukum dalam penyelenggaraan jaminan sosaial adalah, Pasal 28 H ayat (1), ayat (2), dan Ayat (3), dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Akan tetapi, membaca seluruh isi Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional ini, tidak satupun Pasal yang menyebutkan bahwa negara wajib menyelenggarakan jaminan sosial bagi seluruh rakyatnya. Pada point menimbang huruf b disebutkan bahwa untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal ini seharusnya menyebutkan secara tegas bahwa negara wajib mengembangkan dan melaksanakan sistem jaminan sosial nasional.

Kuat indikasi bahwa negara dengan sengaja hendak lepas tangan dalam urusan jaminan sosial, dan akan diserahkan pada badan usaha/ perusahaan yang berorientasi keuntungan. Ini tampak jelas dalam Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan “Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya”. Selanjutnya dalam ayat 4 disebutkan bahwa “Tabungan wajib adalah simpanan yang bersifat wajib bagi peserta program jaminan sosial. Kedua Pasal tersebut berarti bahwa setiap peserta asuransi sosial dan peserta jaminan sosial memiliki kewajiban untuk membayar untuk dapat memperoleh jasa jaminan sosial tersebut.

Sementara peran pemerintah dalam hal ini bersifat ambigu dan tidak jelas keberpihakannya. Dalam Pasal 1 ayat 5 disebutkan bahwa “Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang mampu sebagai peserta program jaminan sosial.” Pasal tersebut mengindikasikan bahwa bantuan pemerintah yang bersifat general baik kepada yang mampu maupun yang miskin akan diserahkan pada perusahaan-perusahaan asuransi yang ditunjuk oleh negara untuk dikelola dalam rangka meraih profit.

Indikasi ini sangat jelas jika melihat Bab III Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pada Pasal 3 yang menyebutkan bahwa badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah : a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES). Sebagaimana kita ketahui bahwa lembaga tersebut adalah badan usaha yang berorientasi pada keuntungan dan bukan pelayanan publik. Meskipun Pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun tidak menutup kemungkinan perusahaan-perusahaan bisnis swasta masuk dalam penyelenggaraan sistem asuransi sosial tersebut.

Kewajiban membayar bagi peserta dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 17 ayat (1) dalam Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional yaitu Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Dan dipertegas lagi dalam ayat (2) yang berbunyi “Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala”. Kedua Pasal tersebut berpotensi menjadi sumber tekanan yang bertubi-tubi bagi pekerja atau peserta jaminan sosial lainnya.

Meskipun dalam Pasal 17 ayat (4) disebutkan bahwa Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah dan Pasal (4) menyatakan bahwa “Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan”, namun kewajiban pemerintah untuk membayar tersebut bersifat kondisional. Hal tersebut tampak jelas dari bunyi Pasal 6 yang menyatakan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Tidak ada gambaran bagaimana pemerintah akan membuat aturan pelaksanaannya. Apakah dalam hal ini pemerintah akan berpihak ke rakyat atau pada perusahaan asuransi?

Jika melihat Pasal inti yang menjadi intisari dari sistem jaminan sosial yang diatur dalam Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa undang-undang ini sangat berTentangan dengan semangat konstitusi yaitu Pancasila dan UUD 1945 pada pembukaan dan batang tubuh, khususnya Pasal-Pasal yang mengatur Tentang Hak azasi manusia, jaminanan sosial, dan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.

Dengan demikian maka Pasal-Pasal yang bersifat kapitalisme- neoliberalisme dalam Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional mesti dibatalkan. Selain karena melanggar konstitusi, Pasal-Pasal tersebut berpotensi menciptakan beban, tekanan dan kemiskinan yang semakin dalam bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, sebagai akibat ikut serta dalam sistim dan membayar iuran yang diwajibkan oleh undang-undang ini.

Apalagi ditengah kondisi ekonomi global yang saat ini tengah mengalami krisis, perusahaan-perusahaan multinasional akan semakin ekspansif dalam rangka perluasan pasar dan akumulasi keuntungan. Termasuk di dalamnya adalah penguasaan pelayanan jasa asuransi.

Sehingga sistem asuransi sosial sebagaimana yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat berdampak kontraproduktif dalam upaya memajukan produksi, produktifitas nasional, kesejahteraan rakyat dan kebudayaan bangsa. Undang-undang ini pada satu sisi menjadi lahan bisnis bagi perusahaan swasta namun pada sisi lain menjadi beban ekonomi baru bagi masyarakat Indonesia.  


II.            KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1.    Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 Jo. Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:
            “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
            (a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD RI Tahun 1945”.

2.    Bahwa yang menjadi objek pengajuan permohonan ini adalah Pasal 17 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Terhadap UUD RI Tahun 1945.

3.    Bahwa berdasarkan ketentuan hukum di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus Permohonan judisial review ini.


III.        KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTNGAN KONSTITUSIONAL PEMOHON


4.    Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berfungsi antara lain sebagai “guardian” dari “constitutional rights” setiap warga Negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan badan yudisial yang menjaga hak asasi manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga Negara. Dengan kesadaran inilah PARA PEMOHON kemudian, memutuskan untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sisitem Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 17, yang berTentangan dengan semangat dan jiwa serta Pasal-Pasal yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5.    Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh  berlakunya  undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara.”

6.    Bahwa PEMOHON 1, 2, dan 3, adalah warga negara Indonesia selaku pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dijalankan pemerintah Republik Indonesia. Pemohon adalah warga negara yang miskin secara ekonomi yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan layanan asuransi swasta sehingga pemohon didaftarkan dirinya untuk mendapatkan Pelayanan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dijalankan oleh pemerintah Republik Indonesia. Dengan di tetapkannya Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 17, maka pemohon di rugikan hak konstitusionalnya karena harus menanggung kewajiban membayar premi dan iur tanggung ketika sakit.


7.    Bahwa PEMOHON 4 adalah warga negara Indonesia yang merupakan seorang istri pensiunan Pegawai negeri sipil (PNS) dan menjadi peserta asuransi kesehatan yang dijalankan oleh PT ASKES. Dengan di tetapkannya UU SJSN khususnya Pasal 17, maka pemohon di rugikan hak konstitusionalnya karena harus menanggung kewajiban membayar premi dan iur tanggung ketika sakit, padahal pemohon telah membayar premi yang diambil dari dana pensiun suaminya.

8.    Bahwa PEMOHON ke 5 adalah seorang warga negara Indonesia yang bekerja sebagai buruh diperusahaan swasta yang dipotong gajinya untuk kepesertaannya dalam Jamsostek yang dijalankan PT JAMSOSTEK. Pemohon telah dirugikan sejak menjadi peserta Jamsostek, dikerenakan pungutan yang sangat memberatkan. Dengan di tetapkannya Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 17, maka pemohon di rugikan hak konstitusioanalnya karena wajib membayar premi dan iur tanggung ketika sakit.

9.    Bahwa PEMOHON ke 6 adalah seorang warga negara Indonesia sebagai pembayar pajak pada negara. Pemohon merasa dirugikan hak konstiitusionalnya dengan di tetapkannya Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 17 karena sebagai warga negara yang telah membayar pajak pada negara masih harus menanggung kewajiban membayar premi dan iur tanggung ketika sakit yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara karena sudah membayar pajak. Maka dengan ditetapkannya Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 17,--- potensial melanggar hak konsitusional pemohon pembayar pajak pada negara.

10. Bahwa PEMOHON ke 7 adalah perkumpulan perdata yang beranggotakan relawan masyarakat yang bergerak untuk kepentingan publik mengawal dan memastikan hak jaminan kesehatan bagi warga miskin sampai ke tangan warga miskin. Maka pemohon dengan tetapkannya  Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional khsusnya Pasal 17 akan menghadapi kesulitan yang lebih berat dalam memperjuangkan hak-hak kesehatan masyarakat miskin. Maka dengan ditetapkannya Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 17 potensial melanggar hak konsitusional pemohon.

11. Bahwa PEMOHON ke 8 adalah organisasi masyarakat miskin, yaitu suatu perkumpulan yang terus menerus mewakili dan memperjuangkan hak-hak masyarakat miskin atas kesejahteraan dan jaminan sosial dari negara. Dengan ditetapkannya Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 17 maka anggotanya semakin kehilangan sebagian pendapatannya karena harus membayar premi dan iur tanggung saat sakit, serta akan semakin sulit dalam memperjuangkan hak-hak kesejahteraan anggotanya dan hak untuk memperoleh jaminan sosial yang seharusnya ditanggung oleh negara. Maka dengan ditetapkannya Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 17 potensial melanggar hak konsitusional pemohon.

12. Bahwa PEMOHON ke 9 adalah organisasi serikat buruh yang secara konsisten memperjuangkan hak-hak kesejahteraan dasar buruh. Maka pemohon dengan ditetapkannya  Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 17 akan menghadapi kesulitan yang lebih berat dalam memperjuangkan hak-hak kesejahteraan anggotanya dan kaum buruh pada umumnya. Maka dengan ditetapkannya Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional khususnya Pasal 17 potensial melanggar hak konsitusional pemohon.

13. Pemohon ke 10 adalah orang pribadi, seorang pengamat perdagangan bebas dan peneliti senior Institute Global Justise (IGJ), sebagai warga negara yang bekerja untuk mengamati dan menganalisa praktek perdagangan bebas, sadar dan mengetahui lalu lintas perdagangan internasional serta ketidakadilan dalam sistem perdagangan yang selama ini terjadi, pemohon merasa terpanggil nuraninya sebagai warga negara untuk berusaha menghentikan praktek ketidakadilan dalam sistem perdagangan yang berdampak terhadap semua warga negara dan mengabaikan hak konstitusionalitas setiap warga negara. Maka menurut pemohon jika Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) UU SJSN diberlakukan akan melanggar hak konstitusional pemohon, serta mengganggu Pemohon karena semakin berat beban sosial intelektual pemohon yang sadar dan mengetahui praktek ketidakadilan dalam perdagangan internasional.

14. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas PARA PEMOHON sudah memenuhi kualitas maupun kapasitas baik sebagai  PEMOHON Perorangan Warga Negara Indonesia dan atas nama badan hukum publik atau privat dalam hal ini adalah atas nama organisasi masyarakat dalam rangka pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Karenanya, jelas pula PARA PEMOHON memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan permohonan menguji Pasal 17 Undang-Undang Nomor  40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terhadap Undang – undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,  yang rumusan Pasal 17 sebagai objek permohonan nya sebagai berikut :


Pasal 17 UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN
1)    setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan  persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
2)    Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada badan penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
3)    Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
4)    Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin  dan orang yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah.
5)    Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh pemerintah untuk program jaminan kesehatan.
6)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


IV.          POKOK PERMOHONAN DAN ALASAN HUKUM

A.   Ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional yang menegaskan ketentuan pelaksanaan jaminan sosial yang mewajibkan kepada  pesertanya membayar iuran dan iur tanggung jika sakit adalah bukti negara menegasikan kewajibannya (state obligation) untuk menjamin hak asasi warga negaranya, hal ini telah melanggar hak konstitusional Pemohon atas jaminan kepastian kewajiban pemeliharaan Negara kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945.

Pasal 17 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN
“setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan  persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.”

15. Sistem hukum hak asasi manusia internasional menempatkan Negara sebagai aktor utama yang memegang kewajiban dan tanggungjawab (duty holders). Sementara individu (termasuk juga kelompok dan “rakyat”) berkedudukan sebagai pemegang hak (right holders). Negara dalam sistem hak asasi manusia dengan demikian tidak memiliki hak ; kepadanya hanya dipikulkan kewajiban atau tanggungjawab (obligation atau responsibility) untuk memenuhi hak-hak  (yang dimiliki individu atau kelompok) yang dijamin di dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional tersebut.

16. Pertanggungjawabkan negara seperti dikemukakan diatas, biasanya dilihat dalam tiga bentuk. Yang pertama adalah dalam bentuk menghormati (obligation to respect), dan yang kedua adalah dalam bentuk melindungi (obligation to protect), sementara yang terakhir adalah dalam bentuk pemenuhan (obligation to fulfil).

17. Tanggungjawab yang pertama  (to respect), menuntut negara untuk tidak melanggar hak-hak asasi warga negaranya. Tanggungjawab kedua (to protect) menuntut negara mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna melindungi hak-hak dan kebebasan warga negara diwilayahnya. Sedangkan tanggungjawab yang ketiga, negara dituntut mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga negaranya.

18. Sementara itu jika membaca rumusan Pasal 17 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 diatas, sangat jelas warga negara sebagai pemegang hak justru diwajibkan untuk membayar (menanggung kewajiban) dan Negara yang seharusnya menanggung kewajiban justru menuntut hak (menuntut iuran).

19. Rumusan diatas jelas mengkaburkan makna tanggungjawab dan kewajiban negara dalam hal ini pemerintah sebagai pengemban mandat pelaksanaan sistem kenegaraan untuk memenuhi, menjamin, dan melindungi semua hak warga negaranya.

20. Bukankah dengan sisitem bernegara kita menyerahkan kedaulatan bernegara kepada pemerintah untuk mengatur, memberi sanksi, menarik pajak, dll, dan sebagai kompensasinya adalah warga negara akan mendapatkan hak berupa perlindungan, pemenuhan atas semua kebutuhan hidup dan hak dasar sebagi warga negara.

21. Pasal 17 ayat (4) Tahun 2004 UU SJSN memang merumuskan, bahwa iuran bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah, namun jika memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (5) UU aquo yang menegaskan bahwa iuran yang dibayar oleh pemerintah adalah dalam bentuk bantuan, yang artinya mengikuti situasi dan keadaan ekonomi, bahkan menegasi makna wajib menjadi bantuan, yang artinya suka-suka, kondisional dan menunggu political will pemerintah.

22. Ketentuaan aquo secara jelas-jelas tidak memberikan kepastian Tentang nasib orang miskin, bahkan justru mengebiri makna Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan negara bertanggungjawab/menjamin kesejahteraan warga negaranya;

23. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) selain menegasi kewajiban sebagai hak, juga akan memberikan keistimewaan kepada warga negara yang mampu secara ekonomi (kaya), dan membuat jurang pemisah yang kuat antara si kaya dan si miskin.

24. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) jika di hubungkan  dengan ketentuan Pasal 17 ayat (5) yang menegaskan “Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh pemerintah untuk program jaminan kesehatan. Serta di hubungkan dengan :

25. Bagian Kelima  Jaminan Pensiun Pasal 39-42 UU No. 40 Tahun 2004, Pasal 40 menegaskan bahwa “peserta jaminan pensiun adalah pekerja yang telah membayar iuran”. Sementara itu, Pasal 39 ayat (2) “jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.”

26. Dalam Bagian Keliama Jaminan Pensiun, tidak ditemukan ketentuan yang memberikan perlindungan bagi orang miskin, pengangguran, dan pekerja sektor informal, maka Ketentuan tersebut memberikan pengertian bahwa warga negara yang bekerja di sektor informal (pekerja mandiri) atau bahkan tidak bekerja, menganggur karena miskin dan tidak berpendidkan sehingga tidak bekerja, tidak berhak atas Jaminan Pensiun dari UU SJSN. Sehingga pekerja sektor informal, pengangguran, dan orang miskin yang termiskinkan, tidak pernah mengenal usia pensiun, usia hari tua, dan cacat total. Karena ketentuan pada Pasal 39 dan Pasal 40 secara tegas hanya diperuntukkan bagi pekerja dan membayar iuran, tidak ada ketentuan bagi yang lainnya.

27. Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa “orang miskin dilarang tua”, karena tidak akan dapat jaminan dihari tua ketika pensiun, ia tetap harus menjadi anak muda yang terus bekerja tanpa henti mencari penghidupan sendiri, negara tidak memikirkannya.

28. Kita tentu ingat, sebelum adanya progran jamkesmas, kita kenal istilah “orang miskin dilarang sakit”, dan  setelah ada program jamkesmas dimana semua biaya perawatan warga miskin yang sakit ditanggung oleh negara lambat – laun istilah itu menjadi punah, sekalipun sistem jamkesmas belumlah sempurna.

29. Kita juga tidak boleh melupakan, istilah “orang miskin dilarang sekolah”, istilah ini dahulu timbul ketika UU BHP disahkan yang menimbulkan biaya sekolah naik takterjangkau oleh warga miskin.

30. Jika diperhatikan secara seksama, Pasal 17 ayat (1) diatas, tentang kewajiban iuran bagi semua peserta, juga menegaskan Tentang adanya kepentingan politik ekonomi asuransi atas orang yang sakit yang menjadi peserta. Warga negara khususnya yang sakit telah  menjadi nilai yang strategis bagi “akumulasi modal yang murah dan menjadi pasar yang diciptakan oleh negara (captive market)”. Kepentingan inilah yang melandasi lahirnya rumusan Pasal aquo.

31. Selain itu ada 76,4 juta rakyat miskin yang ditanggung oleh APBN dari Rp. 5,1 Triliun (Data Departemen Kesehatan RI) dalam program Jamkesmas yang dijalankan oleh pemerintah. Dalam Tahun 2011 diperkirakan akan menjadi Rp. 9 Triliun pada APBN 2011. Dana ini akan menjadi fress money yang sedang ditunggu-tunggu oleh perusahaan – perusahaan asuransi.

32. Bahwa Seharusnya, Sistem Jaminan Sosial merupakan sistem yang bertujuan menjaga dan meningkatkan taraf kehidupan semua warga negara dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, bukan justru memberi beban baru bagi warganya;


33. “Fundamental Norm” Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 I ayat (4) juga menegaskan :
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

34. Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, ”fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.” Pasal ini mengatur kewajiban Negara di bidang kesejahteraan sosial sebagai bentuk perlindungan jaminan hak-hak konstitusional setiap warganegara;

35. Perlindungan jaminan hak-hak konstitusional setiap warganegara dibidang kesejahteraan merupakan bagian dari upaya mewujudkan Indonesia sebagai Negara kesejahteraan (welfare state), sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan.

36. Maka sudah seharusnya Pemerintah Indonesia menjalankan amanat UUD 1945 sebagai Norma dasar dalam kehidupan bernegara, apalagi Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovenen Hak Ekonomi sosial dan Budaya dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2005 Tentang pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, tanggal 28 Oktober 2005 sehungga dituntut untuk menjalankan semua isi dalam  Kovenan tersebut dalam kebijakan bernegara dan berpemerintahan.

37. Maka tidak terkecuali dengan dikeluarkannya Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional  sudah seharusnya sebagai upaya maksimal untuk menjalankan hak azasi warga negara Indonesia, sebagai bentuk jaminan kehidupan yang layak, manusiawi, dan bermarabat.

38. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menegaskan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

39. Bahwa selain itu, Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, juga menegaskan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.”

40. Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, merumuskan “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional Tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.”

41. Dan ditegaskan pada Pasal 72 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.”          

42. Sebagaimana kita ketahui, objek dari jaminan sosial adalah kebutuhan dasar warga negara, untuk memastikan hidup dalam martabat kemanusian dan kesejahteraan.

43. Maka hemat kami Pemohon ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU SJSN sangatlah bertentangan dengan Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 “mensejahterakan kehidupan bangsa”, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2), (4), (5), dan Pasal 34 UUD 1945 serta bertentangan dengan norma dasar dalam perlindungan bagi semua warga negara sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara N. 007/PUU-III/2005  yang menegaskan : “sistem jaminan sosial harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” (putusan 007/PUU-III/2005 hal. 260).


B.   Ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional “Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan mebayarkan iuran tersebut kepada badan penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.” Ketentuan ini sesungguhnya sedang melakukan tindakan pelimpahan beban dan tanggungjawab negara kepada warga negara dan sektor swasta yakni perusahaan pemberi kerja.

44. Negara mengijinkan dan melegitimasi pungutan dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerjanya, yang sudah pasti membebani dan mengintimidasi pekerja (pemerasan), dengan sistem yang masih seperti ini.

45. Ketentuan diatas, juga merupakan bentuk pengalihan tanggungjawab dari negara kepada swasta, yang faktanya terjadi hubungan struktural secara langsung anatar pekerja dengan pengusaha yang diberikan pelimpahan beban.

46. Pungutan terhadap pekerja sebagaimana yang dilakukan selama ini oleh perusahaan asuransi JAMSOSTEK yang juga melalui pengusaha telah terbukti memberatkan pekerja, khususnya mereka yang memiliki upah rendah.

47. Hampir separuh pekerja di Indonesia adalah pekerja miskin, pada tingkat upah rata-rata pekerja yang berlaku sekarang, jika dibagikan kepada rata-rata anggota keluarga pekerja, lebih dari 45 persen rumah tangga pekerja dan anggota keluarganya memiliki pendapatan perkapita dibawah 2 US $ per hari. 

48. Dana yang dipungut dari para pekerja tidak dikelola secara demokratis dan transparan. Perusahaan-perusahaan asuransi menggunakan dana pekerja untuk kepentingan bisnis yang hasilnya tidak terbukti dibagikan kepada pekerja.



C.   Pasal 17 ayat (3) Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional “ Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.” Rumusan diatas, potensial  menimbulkan kastanisasi atas jenis pelayanan bagi warga miskin dan warga kaya, serta kemampuan suatu daerah otonomi dengan daerah otonomi lainnya, sehingga mengabaikan prinsip keadilan, kesetaraan, dan anti diskriminasi.

49. Nilai pungutan iuran yang didasarkan pada pertimbangan yang sifatnya kondisional membuka peluang pemerintah menetapkan kebijakan iuran yang dapat dinaikkan sewaktu-waktu.

50. Iuran yang selama ini dipungut dari pekerja telah terbukti tidak hanya memberatkan pekerja, namun juga pengusaha. Ditengah kondisi lemahnya industri nasional yang cenderung mengarah pada de-industrialisasi, dan ekonomi yang diterpa krisis berkepanjangan, kebijakan pemerintah yang memberatkan kalangan dunia usaha seharusnya dihindari.

51. Nilai kebutuhan hidup layak yang dijadikan dasar dalam menentukan nilai iuran yang dipungut, hingga saat ini masih dipersoalkan oleh pekerja dan organisasi pekerja. Nilai kebutuhan hidup layak yang ditetapkan oleh pemerintah masih jauh dari harapan pekerja. Sehingga pungutan mengurangi pendapatan pekerja secara significant.

52. Bahwa selain persoalan besaran nilai pungutan, persoalan kewajiban iuran pembayaran premi sendiri adalah sebuah pelanggaran karena mengkonstruksikan pada kewajiban warga negara untuk menjadi peserta, disisi lain negara yang seharusnya menjamin hak warga negaranya justru mendapatkan hak, untuk memungut ituran, lalu bagaimana dengan pajak warga negara yang selama ini telah dan terus ibayar ?

53. Bukankah perlindungan dan jaminan dari negara adalah hubungan timbal balik atas kewajiban pembayaran pajak pada warga negara, serta hubungan timbal balik atas kewenangan yang telah di berikan oleh warga negara sebagaimana teori contract social ?


Berdasarkan semua uraian tersebut diatas, maka pemohon berkesimpulan ketentuan rumusan Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional bertentangan dengan Undang – Undang Dasar 1945 khususnya  Pembukaan UUD 1945, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2), (4), (5), dan Pasal 34 UUD 1945.


V.           PETITUM


DALAM PROVISI

1)    Permohonan Pengujian Undang-undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional akan berdampak langsung terhadap RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang sedang dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

2)    Berdasarkan hal tersebut maka kami Pemohon, memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar mengeluarkan penetapan atau putusan sela untuk menghentikan sementara Proses Pembahasan hingga keluarnya putusan atas perkara aquo, hal ini semata-mata demi efisiensi anggaran dan kepastian keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.


DALAM PERMOHONAN

Berdasarkan uraian-uraian di atas, Para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Permohonan Pengujian Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Terhadap UUD RI Tahun 1945, sebagai berikut :

1.      Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang Para Pemohon;

2.      Menyatakan Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional bertentangan dengan UUD RI 1945,;

3.      Menyatakan Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

4.      Memerintahkan amar Putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terhadap UUD 1945 untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh (30) hari kerja sejak putusan diucapkan.


Jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.


Demikian permohonan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar